Wednesday, October 8, 2014

Tinjauan Kritis Ujian Nasional


Ujian Nasional, Jurang Kehancuran Pendidikan di Indonesia..
                                                        
Gambaran umum mengenai Ujian Nasional adalah sistem evaluasi pendidikan di tanah air sebagai tolak ukur kelulusan para siswa dari bangku sekolah yang tengah dijalaninya. Berdasarkan keputusan pemerintah, nilai Ujian Nasional memilki bobot persentase nilai yang lebih tinggi daripada Ujian Sekolah yakni berkisar 60% sementara Ujian Sekolah hanya 40%. Dengan demikian, tak khayal jika UN menjadi momok yang cukup mengerikan bagi kalangan pelajar di Indonesia.
Jika kita melihat kembali sejarah perjalanan sistem pendidikan nasional khususnya dalam hal evaluasi, Indonesia sebenarnya telah menerapkan sistem evaluasi yang fluktuatif dari masa ke masa. Pada tahun 1950-1960-an Indonesia menerapkan Ujian Penghabisan. Tahun 1965-1971 menjadi Ujian Negara. Kemudian tahun 1972-1979 ujian dilaksanakan oleh sekolah masing-masing. Tahun 1980-2000 dilakukan Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS). Baru pada tahun 2001-2004 berlaku Ujian Akhir Nasional (UAN) yang selanjutnya pada tahun 2005 berganti nama menjadi Ujian Nasional (UN).
Sejatinya pemerintah mengadakan UN memiliki tujuan yang baik yaitu untuk mengukur pencapaian hasil belajar para siswa selama ia bersekolah. Hal ini juga dilakukan pemerintah untuk memantau apakah sistem pembelajaran di sekolah-sekolah sudah terbilang sukses atau belum. Karena pemerintah yakin dengan kualitas pendidikan yang bagus maka akan menghasilkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang bagus pula. UN juga menjadi alat penilaian pada daerah-daerah di Indonesia, manakah daerah yang perlu perhatian khusus dari pemerintah untuk ditingkatkan mutu pendidikannya serta fasilitas pendidikan yang diperlukan oleh daerah tersebut. Pemerintah juga menjunjung tinggi pendidikan yang bermutu yakni pendidikan yang berhasil membentuk siswa yang cerdas, berkarakter, bermoral, dan berkepribadian sesuai dengan pasal 1 ayat (1) UU Sisdiknas. 
Namun pada realitas kehidupannya, banyak kecurangan yang terjadi dalam pelaksanaan UN. Banyak pro dan kontra dari berbagai pihak. Dan banyak problematika yang belum ada titik temunya. Banyak desas desus mengenai kunci jawaban UN dan sebagainya.
 Pihak-pihak yang pro pada umumnya berasal dari kalangan pemerintahan serta pihak-pihak yang diuntungkan karena adanya UN yaitu para penerbit buku karena mereka dapat menjajakan buku-buku karya mereka mengenai pembahasan soal-soal UN. Sementara mereka yg kontra hampir sebagian merupakan kritikus pendidikan dan masyarakat. Gambaran umum UN jika dilihat dari sisi pihak oposisi pemerintah bahwa UN hanyalah sebuah kamuflase Pemerintah agar kinerjanya dipandang baik oleh masyarakat. UN juga menjadi sebuah pencitraan yang kian dipertontonkan oleh Kemendikbud.
Dalam hal ini penulis tidak akan memihak dan berusaha untuk netral mengenai UN. Karena setiap permasalahan tentu memiliki dampak positif dan tentu saja memiliki dampak negatif.
Ujian Nasional merupakan hal yang positif bagi pendidikan Indonesia apabila dalam pelaksanaannya tidak ada perilaku-perilaku yang menyimpang dengan norma-norma. Ujian Nasional juga memiliki potensi untuk lebih ditingkatkan lagi sistem pelaksanaannya. Hal ini seperti yang telah dicanangkan pemerintah yaitu Sistem UN Online 2015 yang akan menggunakan sistem trial dan error.
Sejatinya program pemerintah dalam rangka meningkatkan pendidikan Indonesia sudah cukup baik sejauh ini. Hanya saja, dalam praktiknya masih saja mengalami kendala-kendala baik dari segi SDMnya hingga masalah-masalah terkait dengan UN itu sendiri. Banyak oknum yang melakukan pelanggaran dengan menjual kunci jawaban UN.
Dan juga UN membuat generasi muda yang tidak dapat mengapresiasikan bakat dan kreatifitasnya. Jiwa-jiwa kreatifitas dan seni mereka telah terbelenggu dengan adanya UN. Mereka tertekan karena harus terus belajar hal yang mungkin tidak mereka sukai. Contohnya saja matematika, banyak murid yang mengeluh mengapa mereka harus mempelajari itu untuk UN padahal banyak dianatara mereka yang tidak memiliki kemampuan di bidang akademik seperti itu. Mungkin saja kemampuan mereka lebih pada olahraga dan seni. Karena kecerdasan terbagi menjadi beberapa golongan seperti kecerdasan linguistik, kinestik, dll. UN membelenggu mereka karena mereka dituntut untuk menjadi robot yang canggih untuk menghapal suatu materi.
Sudah sepantasnya pemerintah lebih mengkaji lagi mengenai sistem evaluasi belajar. Dan bukankah lebih baik jika pemerintah melakukan evaluasi pada proses belajar bukan semata-mata pada hasil pembelajaran kan?